Contoh lain adalah acara “béséi kambé” yang diperlombakan dalam Festival Seni-Budaya Isen Mulang tingkat provinsi. Acara ini memperlihatkan dua orang berdayung, adu kuat, ke arah berlawanan.
Pendapat umum atau common sense yang bukan good sense mencoba menerangkan pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” yang dilukiskan secara tipik oleh dua contoh di atas, disebabkan karena masyarakat Dayak tidak mengenal raja, belum sampai pada tingkat feodalisme. Artinya. perkembangan masyarakat Dayak baru pada taraf komunal yang egalitaris. Masyarakat perbudakan juga tidak berkembang karena terpotong oleh kedatangan kolonialisme Belanda.

Sistem masyarakat feodal mempunyai cara produksi yang bersandar pada penguasaan tanah oleh raja. Alat-alat produksi semuanya milik raja. Rakyat tidak lebih dari pekerja-pekerja yang dimiliki juga oleh tuan feodal yaitu sang raja. Raja dipandang sebagai wakil Tuhan di bumi.Segala kekuasaan ada di tangan raja. Dengan kekuasaan demikian, raja mempersatukan seluruhnya warga masyarakat yang memiliki ketundukan mutlak.
Sedangkan masyarakat Dayak dengan tingkat komunal egalitaris relatif ketika Belanda datang, yang tadinya dalam hubungan dengan luar menggunakan sistem in natura alias barter, meloncat masuk, ke ekonomi uang. Autarki bergeser ke sistem ekonomi uang atau kapitalistik. Dalam lompatan ini, individu-individu seperti halnya pada periode bétang tetap memiliki alat-alat produksi untuk memenuhi hajat keperluan mereka sehari-hari. Dengan pemilikan alat-alat produksi individual begini, maka kolektivitas tidak kuat. Cara berproduksi dengan pemilikan alat-alat produaksi individual beginilah barangkali yang menjadi dasar pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima”. Kebersamaan muncul pada saat eksistensi individu-individu terancam oleh serangan fisik dari luar. Benih individualistik ini tentu saja menguntungkan kolonialisme maka ia dipelihara dan dikembangkan. Dengan dasar ekonomi individualistik demikian, persatuan dan solidaritas di kalangan masyarakat Dayak jadi lemah.
Ketika HPH, kelapa sawit dan tambang skala besar masuk, ditambah dengan politik demografis melalui transmigrasi yang dilaksanakan oleh Orde Pembangunan. orang Dayak mulai kehilangan alat produksi utama yaitu tanah dan hutan. Keterpurukan pun menjadi-jadi sampai sekarang. Hedonisme sebagai nilai dominan menyuburkan pertumbuhan individualisme, dalam bentuk KKN, penyalahgunaan kekuasaan, pembentukan dinasti, kemerosotan nilai, kehilangan diri dan orientasi, dan berbagai borok pikir dan mental.
Tanggal 21 Desember 2013 lalu, tongkang yang mengangkut biji besi telah menabrak jembatan Bajarum di Sungai Mentaya, sehingga mengalami kerusakan berat. Setelah melihat sendiri keadaan jembatan tersebut, Gubernur Kalimantan Tengah, A. Teras Narang, SH lalu mengeluarkan instruksi melarang tongkang melintasi bawah jembatan dan melarang kendaraan melalui atas jembatan tersebut. Tapi Jhon Krisli, Ketua DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) justru telah melanggar instruksi ini dengan meloloskan duabelas mobil melintasi jembatan rusak tersebut. Ketika keesokannnya, media massa cetak Kalteng mengangkat persoalan pelanggaran atas instruksi Gubernur Kalteng ini, Jhon Krisli naik pitam sehingga mengeluarkan kata-kata yang memperlihatkan bahwa ia orang berkuasa.
Saya melihat sikap dan kata-kata Jhon Krisli dalam soal pelanggaran atas instruksi Gubernur Kalteng ini, akar budayanya, entah disadari atau tidak disadari, tidak lain dari pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” di atas. “Pangkalima” yang merasa diri berkuasa dan dengan kekuasaan di tangan, memandang kekuasaan itu identik dengan kebenaran. Sarinya yang berkuasa tidak bisa berbuat salah(man in power can’t do no wrong), walaupun akibat perbuatannya menyengsarakan masyarakat luas. Pola pikir dan mentalitas inipun tercermin pada saran seorang petinggi Kotim yang menyerukan agar kasus Jhon Krisli jangan diperpolitisirkan. Seruan atau pendapat ini hakekatnya tidak lain dari meredam kritik dari bawah. Senada dengan anjuran yang sering kita dengar agar polemik dihentikan. Saya tidak mengatakan bahwa negeri dan Kalteng memerlukan tiran untuk berdaya dan membangun. Sejauh ini pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” yang masih berlangsung hingga hari ini, memperlihatkan banyak efek negatifnya, menimbulkan chaos (ketiadaan sinerjitas dalam suatu organisasi), lemahnya persatuan, dan kepongahan kekuasaan serta pelanggaran atas hak-hak dasar manusia. Akan lumayan, sekiranya “pangkalima” itu memang pangkalima berkapasitas pangkalima. Pola pikir dan mentalitas“semua pangkalima” cenderung mengejawantahkan diri untuk bertindak semaunya sendiri. Sakarepe déwé, orang Jawa bilang. Yang diperlukan dan yang kita cari adalah politisi-negarawan. Apakah bertindaksakarepe déwé yang merasa diri pangkalima, pola pikir dan mentalitas politisi-negarawankah? Jika tidak, maka menegakkan pola pikir dan mentalitas yang memenuhi standar HAM merupakan suatu keniscayaan. Pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” dan “hakayau kulae” yang bukan kompetisi sehat adalah jalan keterpurukan lebih
Sedangkan masyarakat Dayak dengan tingkat komunal egalitaris relatif ketika Belanda datang, yang tadinya dalam hubungan dengan luar menggunakan sistem in natura alias barter, meloncat masuk, ke ekonomi uang. Autarki bergeser ke sistem ekonomi uang atau kapitalistik. Dalam lompatan ini, individu-individu seperti halnya pada periode bétang tetap memiliki alat-alat produksi untuk memenuhi hajat keperluan mereka sehari-hari. Dengan pemilikan alat-alat produksi individual begini, maka kolektivitas tidak kuat. Cara berproduksi dengan pemilikan alat-alat produaksi individual beginilah barangkali yang menjadi dasar pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima”. Kebersamaan muncul pada saat eksistensi individu-individu terancam oleh serangan fisik dari luar. Benih individualistik ini tentu saja menguntungkan kolonialisme maka ia dipelihara dan dikembangkan. Dengan dasar ekonomi individualistik demikian, persatuan dan solidaritas di kalangan masyarakat Dayak jadi lemah.
Ketika HPH, kelapa sawit dan tambang skala besar masuk, ditambah dengan politik demografis melalui transmigrasi yang dilaksanakan oleh Orde Pembangunan. orang Dayak mulai kehilangan alat produksi utama yaitu tanah dan hutan. Keterpurukan pun menjadi-jadi sampai sekarang. Hedonisme sebagai nilai dominan menyuburkan pertumbuhan individualisme, dalam bentuk KKN, penyalahgunaan kekuasaan, pembentukan dinasti, kemerosotan nilai, kehilangan diri dan orientasi, dan berbagai borok pikir dan mental.
Tanggal 21 Desember 2013 lalu, tongkang yang mengangkut biji besi telah menabrak jembatan Bajarum di Sungai Mentaya, sehingga mengalami kerusakan berat. Setelah melihat sendiri keadaan jembatan tersebut, Gubernur Kalimantan Tengah, A. Teras Narang, SH lalu mengeluarkan instruksi melarang tongkang melintasi bawah jembatan dan melarang kendaraan melalui atas jembatan tersebut. Tapi Jhon Krisli, Ketua DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) justru telah melanggar instruksi ini dengan meloloskan duabelas mobil melintasi jembatan rusak tersebut. Ketika keesokannnya, media massa cetak Kalteng mengangkat persoalan pelanggaran atas instruksi Gubernur Kalteng ini, Jhon Krisli naik pitam sehingga mengeluarkan kata-kata yang memperlihatkan bahwa ia orang berkuasa.
Saya melihat sikap dan kata-kata Jhon Krisli dalam soal pelanggaran atas instruksi Gubernur Kalteng ini, akar budayanya, entah disadari atau tidak disadari, tidak lain dari pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” di atas. “Pangkalima” yang merasa diri berkuasa dan dengan kekuasaan di tangan, memandang kekuasaan itu identik dengan kebenaran. Sarinya yang berkuasa tidak bisa berbuat salah(man in power can’t do no wrong), walaupun akibat perbuatannya menyengsarakan masyarakat luas. Pola pikir dan mentalitas inipun tercermin pada saran seorang petinggi Kotim yang menyerukan agar kasus Jhon Krisli jangan diperpolitisirkan. Seruan atau pendapat ini hakekatnya tidak lain dari meredam kritik dari bawah. Senada dengan anjuran yang sering kita dengar agar polemik dihentikan. Saya tidak mengatakan bahwa negeri dan Kalteng memerlukan tiran untuk berdaya dan membangun. Sejauh ini pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” yang masih berlangsung hingga hari ini, memperlihatkan banyak efek negatifnya, menimbulkan chaos (ketiadaan sinerjitas dalam suatu organisasi), lemahnya persatuan, dan kepongahan kekuasaan serta pelanggaran atas hak-hak dasar manusia. Akan lumayan, sekiranya “pangkalima” itu memang pangkalima berkapasitas pangkalima. Pola pikir dan mentalitas“semua pangkalima” cenderung mengejawantahkan diri untuk bertindak semaunya sendiri. Sakarepe déwé, orang Jawa bilang. Yang diperlukan dan yang kita cari adalah politisi-negarawan. Apakah bertindaksakarepe déwé yang merasa diri pangkalima, pola pikir dan mentalitas politisi-negarawankah? Jika tidak, maka menegakkan pola pikir dan mentalitas yang memenuhi standar HAM merupakan suatu keniscayaan. Pola pikir dan mentalitas “semua pangkalima” dan “hakayau kulae” yang bukan kompetisi sehat adalah jalan keterpurukan lebih
No comments:
Post a Comment